Minggu, 07 Maret 2010

“Upaya-upaya Yang dilakukan Perusahaan Jawatan TVRI Bandung Dalam Menjaring Pemasang Iklan”.

BAB I
PENDAHULUAN


1. 1 Latar Belakang

Bersamaan dengan masuknya Indonesia ke dalam era reformasi, dengan itu pula dunia pers di Indonesia memasuki era kebebasannya. Persaingan di antara media massa pun tak terhindarkan. Tidak terkecuali media televisi, yang dewasa ini diyakini sebagai salah satu media massa yang paling berperan dalam proses globalisasi. Media komunikasi ini dianggap mempunyai kekuatan tersendiri dalam mentransfer gaya hidup dan menyebarkan budaya massa, dibandingkan dengan media komunikasi lainnya.
Kata televisi sendiri berasal dari kata tele (bahasa Yunani) yang artinya jauh, dan kata visi (videre – bahasa Latin) yang artinya penglihatan. Dengan demikian secara harfiah televisi berarti melihat dari jauh. Melihat dari jauh disini diartikan dengan, gambar dan suara yang diproduksi disuatu tempat (studio TV) dapat dilihat dari tempat lain melalui perangkat penerima atau televisi set (Wahyudi, 1986:49).


Dengan adanya media komunikasi massa televisi, kebutuhan masyarakat akan informasi maupun hiburan menjadi semakin mudah tepenuhi. Bahkan untuk sekarang ini dibandingkan dengan media massa lain, televisi merupakan media yang paling banyak diminati, karena dinilai lebih menarik dengan menampilkan paduan gambar dan suara secara bersamaan sehingga pesan yang disampaikan dapat ditangkap dan diinterpretasikan secara jelas oleh audience. Televisi memiliki daya tarik yang kuat disebabkan oleh unsur-unsur audio yang berupa suara, dan visual yang berupa gambar hidup yang menimbulkan kesan mendalam pada pemirsanya. Selain karena kelebihan tersebut, televisi juga diminati karena adanya beragam pilihan, mulai dari stasiun televisi sampai program-program acara yang dapat di akses dengan mudah dan cepat oleh pemirsa televisi.
Pada tahun 2001 lalu, di Indonesia telah hadir lima stasiun TV swasta baru, yaitu Metro TV, Trans TV, Lativi, TV7 dan Global TV. Dengan stasiun televisi swasta yang sudah ada sebelumnya, yaitu RCTI, SCTV, ANTV, TPI dan Indosiar, dunia pertelevisian pun semakin meriah dan persaingannya pun semakin ketat. Dengan masing-masing kreatifitas dan keunggulannya, stasiun-stasiun tersebut berusaha memperebutkan perhatian penonton televisi.
Di sisi lain, bermunculannya stasiun-stasiun televisi ternyata telah menggeser kiblat para produsen barang dan jasa dalam memanfaatkan media untuk melakukan promosi. Jangkauan yang lebih luas dari sebuah media televisi, memberikan tawaran biaya yang jauh lebih efisien dibanding media lain. Disamping itu, karakter media televisi juga mampu lebih menjamin efektifitas pesan (iklan) yang ingin mereka sampaikan.
Stasiun-stasiun televisi pun mau tidak mau harus saling berebut “kue iklan” dimana iklan ini dianggap sebagai sebuah hal yang wajib bagi sebuah lembaga pertelevisian, karena “hidup matinya” suatu media terutama media elektronik bergantung pada iklan atau sponsor. Semakin banyak pengiklan yang masuk pada sebuah stasiun televisi maka akan semakin banyak pula keuntungan akan diperoleh. Hal ini disebabkan, sebagian besar kegiatan operasional pertelevisian dibiayai oleh pendapatan dari iklan.
Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai stasiun televisi pelopor milik pemerintah, juga ikut serta membidik peluang dengan kembali menghiasi jam-jam siarannya dengan tayangan iklan. Sebagai stasiun televisi dengan usia paling tua, sebenarnya TVRI adalah stasiun televisi di tanah air yang pertama kali menayangkan iklan.
Siaran iklan di TVRI sendiri dimulai pada tanggal 1 September 1975 berdasarkan Surat Keputusan Dirjen RTF nomor 11/ Kep/ Dirjen/ RTF/ 75. Sebagai satu-satunya media yang mempunyai jangkauan luas dan paling efektif dibanding media lain yang ada ketika itu, pemasukan TVRI dari iklan cukup besar. Namun dengan pertimbangan kesiapan mayoritas bangsa Indonesia dalam menghadapi implikasi yang dibawa oleh iklan maupun pesan sponsor di media televisi, khususnya terhadap kecendrungan konsumtif yang berkembang, pemerintah mencabut kebijakan memberi izin beriklan di TVRI. Dengan dikeluarkannya SK Mentri Penerangan nomor 30 / Kep/ MenPen/ 1981 berdasarkan pidato Presiden pada Sidang Paripurna DPR RI tanggal 5 Januari 1981 tentang Nota Keuangan RUU APBN 1981/ 1982, maka sejak 1 April 1981 siaran iklan di TVRI pun dihapuskan.
Ketika Departemen Penerangan RI ditiadakan oleh pemerintah, TVRI yang semula merupakan unit pelaksana teknis dibawah Direktorat Jenderal Radio, Televisi dan Film Departemen Penerangan RI merubah status kelembagaannya. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2000 yang ditanda tangani oleh Presiden Abdurachman Wahid pada tanggal 7 Juni 2000, TVRI resmi menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan).
Sesuai dengan statusnya sebagai perusahaan, maka TVRI kini terus berbenah diri untuk lebih meningkatkan profesionalisme di semua bidang yang terkait dalam penyiaran terutama dalam memerankan fungsinya sebagai televisi publik. Dengan perubahan pengelolaan TVRI dari televisi pemerintah menjadi televisi publik, dari sudut penyiaran TVRI tidak lagi diatur oleh pemerintah. Dengan itu untuk menunjang kegiatan operasional siaran, TVRI menganggap perlu adanya dukungan dari pihak ketiga, diantaranya dengan menjaring pemasang iklan, sponsorship dan kerjasama. Untuk mengatur siaran iklan, sponsor dan kerjasama melalui Perjan TVRI, dinyatakan dalam SK direksi Perjan TVRI No. /KPTS/ Direksi/ TV/ 2001 tentang Siaran komersial di Perjan TVRI.
Setelah kurang lebih 20 tahun TVRI dikenal sebagai stasiun televisi yang anti iklan, memasuki tahun 2000 lalu TVRI mulai mengubah paradigma tersebut dengan kembali menayangkan iklan pada jam-jam siarannya. Namun demikian TVRI kini dianggap sebagai “pemain baru” dalam persaingan perebutan iklan, karena pasar iklan di tanah air bisa dikatakan sudah dikuasai oleh stasiun-stasiun televisi swasta seperti RCTI, SCTV, ANTV, TPI dan Indosiar. Belum lagi TVRI masih harus bersaing dengan stasiun-stasiun TV swasta baru lainnya yang pada kenyataannya stasiun-stasiun televisi tersebut lebih memiliki keunggulan dan telah mendapatkan tempat di hati para pemirsanya.
Untuk menangani permasalahan tersebut, TVRI memandang perlu membentuk satuan kerja Pemasaran dan Program, dimana tugas dari satuan kerja tersebut pada dasarnya adalah untuk memasarkan program-program acara kepada klien sehingga klien tersebut bersedia beriklan di TVRI. Seperti juga stasiun penyiaran TVRI daerah yang lain, Perjan TVRI Bandung pun melalui satuan kerja Pemasaran dan Programnya mulai melakukan berbagai upaya untuk menjaring perusahaan-perusahan untuk mengiklankan produk dan jasanya melalui layar kaca TVRI Bandung.
Dengan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan kajian tentang hal-hal diatas dengan mengambil judul :
“Upaya-upaya Yang dilakukan Perusahaan Jawatan TVRI Bandung
Dalam Menjaring Pemasang Iklan”.

Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

STRATEGI MEMENANGKAN PERSAINGAN DALAM PEMASARAN SURAT KABAR HARIAN DI MAKASSAR KASUS FAJAR, TRIBUN TIMUR DAN PEDOMAN RAKYAT

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tertulis dalam sejarah Indonesia bahwa, pada tahun 1999 Indonesia melakukan perubahan besar yaitu masyarakat menuntut kebebasan yang disebut reformasi, masa ini masyarakat menuntut transparansi dari pemerintah. Pers dalam hal ini ikut mengambil bagian terpenting dan menguntungkan, karena semua warga negera Indonesia berhak untuk mendirikan perusahaan pers.
Hal ini membuat bisnis dibidang pers mengalami persaingan yang sangat ketat karena itu industri pers dituntut untuk mengemas produk informasinya lebih canggih lagi mengingat bisnis informasi sudah menjadi trend diawal millenium III.
Dalam bidang informasi, menguasai pangsa pasar dan masuk dalam persaingan ketat antara perusahaan menjadi bagian terpenting dan tidak bisa dielakkan karena masyarakat penikmat informasi menjadikan berita sebagai kebutuhan sehar-hari yang tidak bisa diabaikan keberadakannya. Oleh karena itu, kehadiran media informasi baik milik pemerintah maupun swasta sangat menunjang pengadakan informasi dan itu sangat diperlukan. Informasi itu bisa melalui media cetak maupun elektronik.
Dalam persaingan media massa, selain media cetak sendiri, media elektronikpun (radio dan Televisi) dan media internet walaupun hanya satu persen bangsa Indonesia yang terkait ke internet, juga melakukan persaingan namun tidak separah dengan persaingan media cetak, karena kita mengenal lokalisasi media yang menjadi ancaman langsung bagi media nasional seperti surat kabar daerah, majalah daerah.
Karena itu, saat ini bisnis surat kabar pada saat ini merupakan bisnis yang menggiurkan bagi pengusaha-pengusaha pers, selama masyarakat Indonesia masih terikat dalam media konvensional, namun hal ini perusahaan pers perlu manajemen yang baik untuk mencapai tujuan perusahaan dalam persaingan persuratkabaran dewasa ini.
Dalam hal ini perusahaan pers yang berusaha menciptakan produk, guna memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen. Karena demikian besar dan ketatnya persaingan yang mendominasi dunia usaha dewasa ini, dimana perusahaan berlomba menguasai pangsa pasar.
Namun dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidup suatu perusahaan, seringkali perusahaan tersebut dihadapkan pada berbagai kesulitan, misalnya kesulitan merebut pangsa pasar yang lebih luas sebagai akibat dari persaingan antara perusahaan untuk mengatasi keadakan tersebut diatas.
Memperhatikan kepuasan kepada konsumen dan masyarakat merupakan tujuan utama suatu perusahaan yang menganut konsep pemasaran yang mengajarkan bahwa rumusan strategi pamasaran sebagai suatu rencana yang diutamakan untuk mencapai tujuan tersebut, harus berdasarkan kebutuhan dan keinginan konsumen.
Konsumen perusahaan bukanlah merupakan tindakan khusus, tetapi lebih merupakan pernyatakan yang menunjukkan usaha-usaha pokok diarahkan untuk mencapai tujuan. Strategi pemasaran itu sendiri terdiri dari unsur-unsur pemasaran terpadu yaitu product, price, place, dan promotion (komunikasi pemasaran) yang selalu berubah-ubah sejalan dengan aktivitas perusahaan dan perubahan lingkungan pemasarannya serta perubahan prilaku konsumennya.
Dengan adanya perusahaan dalam masyarakat, pola beli yang berubah-ubah telah mengakibatkan banyaknya perusahaan hidup dalam situasi yang tidak menentu sehingga para pengusaha dituntut untuk mendalami pengetahuan tentang strategi bersaing yang mana merupakan salah satu aspek yang dapat memperlancar tujuan perusahaan yang ingin dicapai.
Beberapa perusahaan pers di Makassar yang telah melayani segmen pembaca surat kabar kini mengalami panetrasi pasar dan produk bersaing dalam era globalisasi informasi ini.
Persaingan terdapat dari suatu industri yang mengejar pasar sasaran yang sama. Strategi bersaing meliputi penentuan posisi dalam suatu untuk memaksimalkan nilai kemampuan yang membedakannya dengan para pesaing, karena aspek yang sangat penting dalam perumusan strategi bersaing adalah analisis pesaing, yang mana sasarannya adalah pengembangan profit, sifat dan sukses dari akibat kemungkinan perubahan strategi yang dapat dilakukan oleh tiap-tiap pesaing.
Di Makassar ada tiga perusahaan surat kabar yaitu harian Fajar Tribun Timur dan Pedoman Rakyat yang dianggap mempunyai persaingan dalam pemasaran. Mereka dituntut bagaimana dapat mempertahankan perkembangan pemasarannya


Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

PERANAN MEDIA KOMUNIKASI (RADIO SWASTA) DALAM MENINGKATKAN TINGKAT KEPEDULIAN MASYARAKAT DI KOTAMADYA YOGYAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sepintas lalu, hubungan lingkungan hidup dengan komunikasi mungkin tidak nampak. Namun kalau dipikirkan secara lebih mendalam, lingkungan hidup sebenarnya merupakan konsep yang sangat relevan bagi komunikasi ditinjau dari berbagai segi.
Pertama, dipandang dari segi luas, komunikasi hanya berarti dalam konteks lingkungan hidup. Pada intinya. komunikasi adalah proses yang menyangkut hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya Tanpa komunikasi manusia jadi terpisah dari lingkungan. Namun tanpa lingkungan komunikasi menjadi kegiatan yang tidak relevan. Dengan kata lain, manusia berkomunikasi karena perlu mengadakan hubungan dengan lingkungannya, meskipun caranya berbeda tergantung lingkungan yang dihadapi, umpamanya dengan lingkungan sosial tertentu.
Kedua, secara langsung atau tidak sebagian besar komunikasi manusia sebenarnya menyangkut atau bertitik tolak pada informasi tentang lingkungannya. Baik mengenai benda fisik dan komponen lingkungan itu, prinsipnya yang mengatur hubungan antara komponen tersebut, proses dan cara kerjanya, ataupun gagasan dan keinginan yang ada dalam otak manusia mengenai bagaimana seharusnya lingkungan itu. Ini bukanlah hal baru. Pengetahuan dan konsep yang ada pada seseorang dibentuk pertama kali oleh lingkungannya, atau berdasar kepada hal-hal yang diamati dari lingkungan. Andaikata ia kemudian belajar tentang hal-hal mengenai lingkungan yang lain, informasi itu pun akan selalu mengacu atau dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya. Itulah sebabnya maka komunikasi biasanya lebih lancar dan lebih efektif jika menyangkut atau berkaitan dengan lingkungan yang telah dikenalnya. Dapat dikatakan komunikasi akan makin berarti bagi seseorang jikalau informasi yang disampaikan makin terkait dengan lingkungan orang itu.
Berkaitan erat dengan ini adalah relevansi lingkungan yang ketiga, yaitu dari segi fungsi komunikasi. Seperti yang dikemukakan banyak pakar, bahwa salah satu fungsi penting komunikasi bagi manusia dalam masyarakat adalah pengamatan lingkungan. Di mana ada media, fungsi ini terbantu dengan komunikasi massa yang diharapkan menyampaikan hasil pengamatan secara teratur dan sistematik. Dimana tidak ada media, fungsi ini dilakukan melalui komunikasi interpersonal dan sosial. Orang saling bertanya dan bertukar informasi setiap hari untuk mendapatkan gambaran mengenai perubahan yang terjadi dan keadaan terakhir (termasuk ancaman, bahaya maupun keadaan yang menguntungkan) yang berkembang di sekitaraya, agar mereka dapat menyesuaikan kehidupannya, sebaik mungkin (M. Alwi Dahlan, 1987: 2-3).
Oleh karena itu informasi yang diperoleh melalui berbagai media massa memegang peranan sangat penting dalam membentuk sikap mental masyarakat agar dapat berperan secara aktif dalam pelaksanaan pembangunan umumnya dan terhadap kesadaran untuk aktif menjaga kelestarian lingkungan khususnya. Namun dalam pemberian informasi kepada masyarakat ada masalah-masalah yang harus dihadapi;
1. Pemastian penerimaan informasi.
2. Informasi lintas batas (transfrontier).
3. Informasi tepat waktu (timely information).
4. Informasi lengkap (comprehensive information).
5. Informasi yang dapat dipahami (comprehensible information)
(Koesnadi, 1988: 141-144).
Adanya permasalahan ini menuntut bahwa informasi yang dibutuhkan, diharapkan akan memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan bagi masyarakat. Kedudukan masyarakat amat penting karena keefektifannya bertindak selaku pengawas terhadap setiap adanya permasalahan lingkungan sehingga diharapkan dengan secepatnya kondisi tersebut diantisipasi dan dikembalikan ke keadaan semula.
Dengan makin berkembangnya teknologi komunikasi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan dan kelestarian lingkungan, sebenarnya masalah kecepatan, daya jangkau, ketepatan, volume maupun jenis informasi yang dapat diberikan kepada masyarakat sudah tidak lagi menjadi permasalahan. Dalam kenyataannya masyarakat masih banyak yang belum memahami apa yang seharusnya diketahui mengenai lingkungan sekitarnya terutama terhadap kegiatan-kegiatan yang memungkinkan timbulnya masalah lingkungan. Seiring dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat, akhir-akhir ini masalah lingkungan banyak menarik perhatian terutama dari media massa yang meliput secara langsung atau berdasarkan laporan dari masyarakat yang terkena dampak masalah lingkungan.
Dari ketentuan Undang Undang No. 4 Tahun 1982 Pasal 9 tentang Lingkungan Hidup yang berbunyi;
"Pemerintah berkewajiban menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat akan tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan penelitian tentang lingkungan hidup".

serta penjelasannya;
"Pendidikan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat dilaksanakan baik melalui jalur pendidikan formal mulai dari taman kanak-kanak atau sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi maupun melalui jalur pendidikan nonformal"

penyebarluasan informasi lingkungan dapat dilaksanakan melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan secara formal maupun non formal. Dengan makin berkembangnya kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup maka dikeluarkanlah peraturan perundangan lingkungan hidup yang baru yaitu Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undang Undang No. 4 Tahun 1982. Selanjutnya Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ini disebut UUPLH.

Dalam Pasal 10 huruf b UUPLH dengan tegas disebutkan bahwa;
“Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah berkewajiban mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup”

dalam penjelasannya;
“Kegiatan ini dilakukan melalui penyuluhan, bimbingan, serta pendidikan dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia”

Berbagai bentuk informasi lingkungan wajib diberikan pemerintah kepada masyarakat untuk peningkatan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam mengelola lingkungannya. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPLH yang menyebutkan;
“Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup”

maka tanggung jawab terhadap lingkungan bukan hanya terletak kepada pemerintah saja tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan karena baik secara langsung maupun tidak langsung masyarakat merasakan dampak negatif dari kerusakan lingkungan itu. Dengan dasar pemikiran itu penggunaan berbagai media massa sangat menunjang berbagai bentuk usaha peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Dari dua bentuk media massa yaitu media elektronik dan media cetak, radio merupakan salah satu media elektronik yang berfungsi sebagai media penyampaian informasi dan dinilai mampu untuk menjangkau segala lapisan masyarakat. Oleh karena itu rasio memegang peranan pentin dalam menumbuhkan dan membina sikap mental masyarakat dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah lingkungan.
Dari ketentuan Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi yang menyatakan bahwa;
"Penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan khusus dapat dilakukan oleh instansi pemerintah tertentu, perseorangan, atau badan hukum selain badan penyelenggaraan dan badan lain sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)"

maka secara jelas dinyatakan bahwa di samping pemerintah selaku pembina dan penyelenggara telekomunikasi pihak swasta dapat juga berperan serta baik perseorangan maupun badan hukum. Ketentuan ini berimplikasi kepada media elektronik, televisi maupun radio, sehingga pada saat ini telah berdiri sejumlah televisi swasta dan radio swasta.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat media komunikasi milik pemerintah, TVRI dan RRI, dan media komunikasi swasta, yaitu radio siaran swasta FM dan AM yang dapat digunakan untuk penyampaian informasi mengenai masalah lingkungan Informasi ini dapat dikemas dalam bentuk acara khusus maupun dengan memasukkan pesan ke dalam acara tertentu.
Peranan penting TVRI, RRI, dan radio swasta adalah dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran lingkungan sehingga peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat meningkat.

B. Perumusan Masalah


Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

EFFECTS OF PRE-QUESTIONING ON THE READING COMPREHENSION ACHIEVEMENT OF THE SECOND GRADE STUDENTS AT SMAN-2 JEKAN RAYA IN ACADEMIC YEAR 2006/2007

CHAPTER I
INTRODUCTION

1.1 Background of the Study
Language is one of the most important things in communication and it is used as a toll of communication among the nations in all over the world. As an international language, English is very important and has many interrelationships with various aspects of life owned by human being. In Indonesia, English considered as the first foreign language and taught formally from elementary school up to the university level.
In English, there are four skills that should be mastered, they are: listening, speaking, reading, and writing. The reading skill became very important in the education field, students need to be exercised and trained in order to have a good reading skill.
Reading is also something crucial and indispensable for the students because the success of their study depends on the greater part of their ability to read. If their reading skill is poor they are very likely to fail in their study or at least they will have difficulty in making progress. On the other hand, if they have a good ability in reading, they will have a better chance to succeed in their study.
In reading, to comprehend the text the readers should be able to manage every part of the text, because it is easy to gain the comprehension in reading when the readers are able to organize the text. Sometimes, they may find form of pre-questioning and it is important for them to comprehend a reading text with having knowledge in general view of the text. Theoretically, pre-questioning itself can build the students’ interest and motivation before students read the whole text. Moreover, the students can predict what will be discussed on the text. In line with this study, students may improve their reading comprehension if they know about pre-questioning and it is very important to understand about pre-questioning in order to get good comprehension in reading.
Based on the explanation above, the writer is interested in finding out the effects of treatment with pre-questioning and without pre-questioning on students’ reading comprehension achievement and concluded that the pre-questioning consist of some questions provided before the students read the whole text. It tends to build the students’ interest and motivation to read the text.

1.2 Problem of the Study
Based on the background of study above, the problem of the study is as follows:
1. What is the effect of treatment with pre-questioning on the Reading Comprehension Achievement of the Second Grade Students of IPS classes at SMAN-2 Jekan Raya Palangkaraya in Academic year 2006/2007?”
2. What is the effect of the student’s gender on the reading comprehension achievement of the second grade students of IPS classes at SMAN-2 Jekan Raya Palangkaraya in academic year 2006/2007?
3. What is the effect of treatments and student’s gender on the reading comprehension achievement of the second grade students of IPS classes at SMAN-2 Jekan Raya Palangkaraya in academic year 2006/2007?

1.3 The Objective of the Study
The objectives of the study are:
1. To find out the effect of treatment with pre-questioning on the reading comprehension achievement of the second grade student of IPS classes at SMAN-2 Jekan Raya Palangkaraya.
2. To find out the effect of the student’s gender on the reading comprehension achievement of the second grade students of IPS classes of SMAN-2 Jekan Raya Palangkaraya in academic year 2006/2007
3. To find out the interaction effect between treatment and student’s gender on the reading comprehension achievement of the second grade students of IPS classes at SMAN-2 Jekan Raya Palangkaraya in academic year 2006/2007.


Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

AN ANALYSIS OF THE MAIN CHARACTER’S HATRED DEPICTED IN SANDRA BROWN’S NOVEL WHERE THERE’S SMOKE.

CHAPTER I

INTRODUCTION



1.1 General Remarks



Human being is god’s creature, since born he or she has given thought and mind that they use in their interaction in their environment to each other. The thought and mind appear the human’s emotion. The emotion is coming to response anything which derives from outside.
The emotion that owned by human being consists of two kinds. They are good and bad emotion. Good emotion usually fulfills someone’s life dominating with love, kindness etc. however, the people in bad emotion, his or her life will be dominated by hatred. This emotion commonly makes the people in trouble as well as in the big disappointment. Hatred in very bad to be owned. To get the clear understanding on hatred, Webster English language dictionary define :
Strong aversion detestion coupled with ill, either the simple emotion or emotional state of aversion abhorrence.
(Webster, 1974 : 1144)
From the quotation above can be said that hatred is the feeling of dislike to someone because of one or some, reason. The reasons can be caused by disapointed, betrayed etc.
The quotation above shows that hatred is the feeling of dislike to someone because of one or some reason. At least it can be said that hatred is a response towards someone’s bad behavior or attitude. Dealing with the analysis has taken hatred as the subject matter on this study.
The character’s behavior or attitude in the novel “Where there’s Smoke” written by Sandra Brown shows the way and the cause of hatred. The character’s behavior are being interesting to discuss as it may give us a good moral lesson in enduring the life.



1.2 Reasons for choosing the Topic
There are some reasons why the topic is chosen to be analyzed. There are as follows:
1. Hatred in interested to be analyzed as it often appears based on many factors and reasons dealing with the human being’s behavior.
2. Hatred influences someone’s behavior very much
3. Hatred which is found in the novel can contribute a very good moral aspect to run the daily life.

Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

Sabtu, 06 Maret 2010

THE INFLUENCE THE OF MAIN CHARACTERS’ CONFLICTS TOWARD PLOT IN OSCAR WILDE’S “THE IMPORTANCE OF BEING EARNEST”

CHAPTER I
INTRODUCTION

1.1 Background
Human beings as one of the three alive-creatures besides animal and plant have a particular ability, which makes him so special, that dominates the others. They are able to adapt, to survive and to analyze the universe phenomenon, which make their quality of life better and better since the past. They have the whole ability because God has granted them brain. Their curiosities are so great that they learn more and more. Besides, something that makes them more special than the others is they know the way to express their feeling, thought, and emotion. Something to provide “a place” for all of the people’s expression is literature.
Literature, according to Moleong as quoted by Spadlex (2000:13), is the knowledge which is earned by human beings arise conduct and it is used to reflect and express experience. Another opinion said that literature is one of the great creative and universal means of communicating the emotional, spiritual, or intellectual concerns of mankind (The Encyclopedia of Americana, vol. 22:559). It seems that something human being does deals literature, especially in communicating. To communicate to each other may be done by a means, such as by a letter, speaking directly, by phone etc. Even something they wrote or said, no matter what its content, could be called a literature. Well, in this life, in purpose or not in purpose, they have involved in a literature.
By using their mind they produced an expression of their feeling, emotion and thought to communicate with others. And this result of literature is called a literary work. Literary work consists of two types, namely imaginative and non-imaginative. Both literary works are basically the same, that is both are expressed aesthetically, but they have a different in expression. Imaginative type is commonly using connotative sentence to express an idea, while non-imaginative type is more realistic than the imaginative one. It uses denotative sentence.
Non-imaginative type consists of essay, criticism, biography, autobiography, history, memoir, diary, and letters. And imaginative type consists of poetry, fiction, and drama. In this paper, the writer takes a drama as an object that will be further analyzed. Drama may be defined as a work of literature or a composition which delineates life and human activity by means of presenting various actions of – and dialogues between – a group of characters (Reaske, 1966:5).
Drama was firstly introduced by a Greek philosopher Aristotle. He also identified six elements of drama that enhance not only the story telling, but also the instructive and aesthetic values of a play. The first four of the elements is plot, character, thought, and diction (relate to drama / written script). And the last two elements are music and spectacle (relate to theatre / the play in performance). (http://www.appendix%20C%20elements.html, accessed on December 21st 2004).
To analyze a drama in a study or paper there must be minimally two elements that support each other, such as plot and character. Plot and character are two significant elements and very needed in a story. Plot is the arrangement of the incidents or events in a story, which are interconnected each other, that makes a story more interesting and easy to be comprehended. Meanwhile, character is the player in the story; it may be humans, animals, or other imagination creatures created by the author. The story contains problems appearing within the actions that make the character struggle to overcome the problems. Therefore, the writer takes a topic “The Influence of the Main Character’s Conflicts towards Plot in Oscar Wilde’s The Importance of Being Earnest”. The writer utilizes the characteristic of the main character and is supported by the plot to find out the influence the character’s conflicts towards the plot in the play.


Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

MAKNA HIDUP PADA PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sekarang ini keberadaan wanita tuna susila atau sering disebut PSK merupakan fenomena yang tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, akan tetapi keberadaan tersebut ternyata masih menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Pertanyaan apakah Pekerja Seks Komersial (PSK) termasuk kaum yang tersingkirkan atau kaum yang terhina, hal tersebut mungkin sampai sekarang belum ada jawaban yang dirasa dapat mengakomodasi konsep pekerja seks komersial itu sendiri. Hal ini sebagaian besar disebabkan karena mereka tidak dapat menanggung biaya hidup yang sekarang ini semuanya serba mahal.
Prostitusi di sini bukanlah semata-mata merupakan gejala pelanggaran moral tetapi merupakan suatu kegiatan perdagangan. Kegiatan prostitusi ini berlangsung cukup lama, hal ini mungkin di sebabkan karena dalam prakteknya kegiatan tersebut berlangsung karena banyaknya permintaan dari konsumen terhadap jasa pelayanan kegiatan seksual tersebut oleh sebab itu semakin banyak pula tingkat penawaran yang di tawarkan.
Di negara-negara lain istilah prostitusi dianggap mengandung pengertian yang negatif. Di Indonesia, para pelakunya diberi sebutan Pekerja Seks Komersial. Ini artinya bahwa para perempuan itu adalah orang yang tidak bermoral karena melakukan suatu pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Karena pandangan semacam ini, para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor, hina, dan tidak bermartabat. Tetapi orang-orang yang mempekerjakan mereka dan mendapatkan keuntungan besar dari kegiatan ini tidak mendapatkan cap demikian. (6 Maret 2007 dari http://www.pikiran rakyat.com/)
Jika dilihat dari pandangan yang lebih luas. Kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya yang dilakukan pekerja seks adalah suatu kegiatan yang melibatkan tidak hanya si perempuan yang memberikan pelayanan seksual dengan menerima imbalan berupa uang. Tetapi ini adalah suatu kegiatan perdagangan yang melibatkan banyak pihak. Jaringan perdangan ini juga membentang dalam wilayah yang luas, yang kadang-kadang tidak hanya di dalam satu negara tetapi beberapa negara.
Oleh sebab itu perlu diakui bahwa eksploitasi seksual, pelacuran dan perdagangan manusia semuanya adalah tindakan kekerasan terhadap perempuan dan karenanya merupakan pelanggaran martabat perempuan dan juga merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Jumlah perempuan pekerja seks meningkat secara dramatis di seluruh dunia karena sejumlah alasan ekonomis, sosial dan kultural.
Dalam kasus-kasus tertentu perempuan yang terlibat telah mengalami kekerasan patologis atau kejahatan seksual sejak masa anak. Lain-lainnya terjeremus ke dalam pelacuran guna mendapat nafkah yang mencukupi untuk diri sendiri atau keluarganya. Beberapa mencari sosok ayah atau relasi cinta dengan seorang pria. Lain-lainnya mencoba melunasi utang yang tak masuk akal. Beberapa meninggalkan keadaan kemiskinan di negeri asalnya, dalam kepercayaan bahwa pekerjaan yang ditawarkan akan mengubah hidup mereka. Jelaslah bahwa eksploitasi perempuan yang meresapi seluruh dunia adalah konsekuensi dari banyak sistem yang tidak adil. Banyak perempuan yang berperan sebagai pekerja seks dalam dunia pertama datang dari dunia kedua, ketiga dan keempat. Di Indonesia dan di tempat lain banyak dari mereka diperdagangkan dari negeri lain untuk melayani permintaan jumlah pelanggan yang meningkat. (Yangcheng Evening News, 15 Desember 2003 diambil dari http://www.kompas.co.id/).

"Sebaiknya tidak perlu ada hukum yang melarang aktivitas prostitusi karena akan ada seseorang dipersalahkan karena aktivitas tersebut. Dan ini menjadi tidak adil dalam konteks di mana prostitusi adalah pelibatan dua orang lawan jenis untuk sebuah kesenangan seksual.” (Dr Li Yinhe, sosiolog dan peneliti bidang perilaku seksual dari Cina, ketika ia menyampaikan ceramah berjudul A Criticism of Laws Governing Sexual Behavior in Contemporary China dalam simposium di He Xiangning Art Gallery, Shenzhen, Cina, bulan Desember 2003 lalu (Yangcheng Evening News, 15 Desember 2003 diambil dari http://www.kompas.co.id/).

Pandangan Dr Li itu mungkin dapat menimbulkan kontroversi apabila dilontarkan di Indonesia karena masyarakat kita pasti menolak pandangan seperti itu. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan, sekalipun praktik prostitusi secara hukum dan agama dilarang di Indonesia, kegiatan prostitusi bawah tanah tetap saja marak di kota-kota besar di Indonesia. Walaupun di Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang praktek prostitusi, ada beberapa peraturan perundangan dan regulasi pemerintah yang menyentuh aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama, atau lebih populer disebut seks komersial. Sejumlah pemerintah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang pendirian lokalisasi. Dengan dasar hukum ini, aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama di antara dua orang atau lebih dalam sebuah tempat yang bersifat pribadi atau "dipersiapkan" dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Definisi ini sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Ketentuan yang didasarkan pada definisi ini seharusnya sudah dieliminasi. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi manusia, sebenarnya setiap orang dewasa memiliki hak melakukan apa saja yang dianggap "menyenangkan" bagi badan mereka.
Untuk yang pertama kalinya terjadi, seorang kepala dinas tenaga kerja mengkritisi sebutan pekerja seks komersial bagi para pelacur. Ini diungkapkan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Sukabumi Drs. H. Karmas Supermas, M.M. Karmas merasa keberatan dengan istilah pekerja seks komersial karena mengandung sebuah konsekuensi yang berat dilihat dari kacamata ketenagakerjaan. Pasalnya, di satu sisi wanita yang berprofesi sebagai pelacur disebut "pekerja", tetapi di sisi lain "pekerja" itu tidak pernah mendapat perlindungan, bahkan selalu diobrak-abrik. Menurut Karmas, selama ini persoalan PSK belum dipandang secara komprehensif, menyeluruh, dan sistematik, terutama dalam penanganannya. Bahkan, sangat ironis dan dilematis, terutama antara persoalan yang ada dengan sistem penanganannya. "Kalau kita cermati istilah pekerja seks, di satu sisi disebut sebagai pekerja. Tetapi, di sisi lain dilarang melakukan pekerjaan tersebut," jelas Karmas. Lebih jauh Karmas mengajak masyarakat sekitar untuk bersama-sama mencermati keterkaitan antara pekerja seks, ketenagakerjaan, gender, moralitas bangsa, dan hak asasi manusia dari sudut ketenagakerjaan, sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003. Pengertian pekerja atau buruh, jelas Karmas, yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Namun, bukan untuk orang-orang yang berprofesi sebagai pelacur atau pekerja seks komersial. Kata "pekerja" sudah bisa dipastikan ada hubungannya dengan lapangan pekerjaan serta orang atau badan hukum yang mempekerjakan dengan standar upah yang dibayarkan. Kemudian, lapangan pekerjaan yang diperbolehkan harus memenuhi syarat-syarat kerja secara normatif yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, termasuk sistem pengupahan dan keselamatan kesehatan kerja. Untuk selanjutnya, jenis pekerjaan tidak boleh bertentangan dengan moralitas bangsa atau agama yang diakui pemerintah. "Seks, tidak termasuk kelompok suatu jenis jabatan maupun pekerjaan. Jadi, tidak tepat kalau istilah pekerja seks komersial itu ditujukan bagi para wanita tuna susila atau pelacur. Istilah pekrja seks sepertinya merupakan sebuah pemolesan bahasa yang dapat berakibat kepada pembenaran terhadap perbuatan amoral tersebut," kata Karmas. Oleh karena itu, Karmas mengusulkan kepada pemerintah atau siapa pun orang yang pertama kali mengganti istilah pelacur dengan WTS agar tidak menggunakan lagi istilah pekerja seks karena tidak menutup kemungkinan akan menjadi preseden buruk di kalangan pekerja "asli" atau buruh yang ada di Indonesia, bahkan tidak menutup kemungkinan merusak citra pekerja pada umumnya. (6 Maret 2007 dari http://www.pikiran rakyat.com/)
Dalam masyarakat, kehidupan seorang pekerja seks komersial merupakan suatu hal yang kurang dapat diterima. Sampai sekarang PSK dipandang sebagai mahluk yang menyandang stereotype negatif, dan tidak dianggap pantas menjadi bagian dari masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, kaum PSK selalu mendapat tekanan dari masyarakat, bahkan menjadi bahan olokan dan ejekan. Tekanan dan perlakuan negatif dari lingkungan ini biasanya muncul dari perilaku masyarakat yang selalu ingin memojokkan mereka.

Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

PELAKSANAAN PERATURAN DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL BERDASARKAN UU NO. 43 TAHUN 1999 DI KEJAKSAAN NEGERI SEMARANG

ABSTRAK

Pengawasan aparatur negara menuju kepada administrasi yang sempurna sangat tergantung pada kualitas dan profesionalisme pegawai negeri itu sendiri. Undang – Undang No. 43 tahun 1999 tentang Pokok – Pokok Kepegawaian memberikan jaminan kedudukan serta kepastian hukum bagi pegawai negeri untuk mengatur dan menyusun aparatur yang bersih dan berwibawa.
Pembinaan dan penyempurnaan serta pendayagunaan aparatur pemerintahan, baik kelembagaan maupun ketatalaksanaan dari segi kepegawaian perlu terus ditingkatkan untuk mewujudkan pembangunan secara menyeluruh.
Hal tersebut juga telah digariskan dalam Garis – Garis Besar Haluan Negara 1998 dalam Bab IV mengenai bidang Aparatur Negara disebutkan antara lain, pembangunan aparatur pemerintah diarahkan pada peningkatan kualitas, efisien dan efektif dalam seluruh jajaran administrasi pemerintahan, termasuk peningkatan kedisiplinan pegawai negeri.
Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara dalam menjalankan roda pemerintahan dituntut untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat harus bisa menjunjung tinggi martabat dan citra kepegawaian demi kepentingan masyarakat dan negara.
Tetapi dalam kenyataan dilapangan masih banyak ditemukan pegawai negeri yang kurang tahu dan kurang menyadari akan tugas dan fungsinya sehingga seringkali timbul ketimpangan – ketimpangan dalam menjalankan tugasnya dan tidak jarang membuat kecewa masyarakat.
Dengan adanya berbagai macam pelanggaran dan kedisiplinan pegawai tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang tinjauan pelaksanaan PP No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kejaksaan Negeri Semarang.
Dari berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan UU No. 43 Tahun 1999 di Instansi Kejaksaan Negeri Semarang maka :
Pelaksanaan UU No.43 Tahun 1999 kaitannya dengan kedidiplinan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kejaksaan Negeri Semarang merupakan masalah yang di teliti serta meneliti hambatan–hambatan yang timbul dalam meningkatkan kedidiplinan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kejaksaan Negeri Semarang dan bagaimana cara mengatasinya.
Dari hasil penelitian dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, dapat diketahui bahwa pelaksanaan UU No. 43 Tahun 1999 di lingkungan Kejaksaan Negeri Semarang adalah dalam pelaksanaannya yang merupakan tindak lanjut dari UU No.43 Tahun 1999 berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung No.001/6/1993 tentang Ketentuan Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia.
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka pelaksanaan kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil Semarang, dilakukan dengan cara atau sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku yaitu lewat pengawasan melekat ( Waskat ).
Pengawasan melekat dilakukan agar tujuan dan sasaran kegiatan administrasi kepegawaian tercapai sebagaimana telah digariskan dalam Undang – Undang, dengan pengawasan melekat ini dapat pula mempengaruhi tingkat kedisiplinan atau kegiatan bekerja para Pegawai Negeri Sipil. Adapun hambatan – hambatan yang ada dalam pelaksanaan kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kejaksaan Negeri Semarang antara lain kurangnya sarana dan prasarana dalam pelaksanaan tugas, kurangnya pemahaman mengenai peraturan disiplin pegawai negeri serta kurangnya sanksi yang tegas dalam setiap pelanggaran.


Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

PERANAN PENYIDIK DALAM MEMBANTU PENYELESAIAN TINDAK PIDANA NARKOBA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal Pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat kesehatannya.
Peningkatan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika dan obat-obatan jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat-obatan untuk kesehatan, juga digunakan untuk percobaan dan penelitian yang diselenggarakan pemerintah dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan dan mendapat ijin dari Menteri Kesehatan.
Pada era globalisasi ini masyarakat lambat laun berkembang, dimana perkembangan itu selalu diikuti proses penyesuaian diri yang kadang-kadang proses tersebut terjadi secara tidak seimbang. Dengan kata lain, pelanggaran terhadap norma-norma tersebut semakin sering terjadi dan kejahatan semakin bertambah, baik jenis maupun bentuk polanya semakin kompleks. Perkembangan masyarakat itu disebabkan karena ilmu pengetahuan dan pola pikir masyarakat yang semakin maju

Dan masyarakat berusaha mengadakan pembaharuan-pembaharuan di segala bidang. Namun kemajuan teknologi tidak selalu berdampak positif, bahkan ada kalanya berdampak negatif. Maksudnya adalah dengan kemajuan teknologi juga ada peningkatan masalah kejahatan dengan menggunakan modus operandi yang canggih. Hal tersebut merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk mampu menciptakan penanggulangannya, khususnya dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang.
Akhir-akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, aparat penegak hukum di harapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa.
Diantara aparat penegak hukum yang juga mempunyai peran penting terhadap adanya kasus tindak pidana narkoba ialah " Penyidik ", dalam hal ini penyidik POLRI, dimana penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian terhadap kasus pelanggaran tindak pidana narkoba.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika didalamnya diatur sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan, dengan dikeluarkanya Undang-Undang tersebut, maka penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih yang telah melakukan tindak pidana narkoba dewasa ini.
Efektifitas berlakunya Undang-Undang ini sangatlah tergantung pada seluruh jajaran penegak umum, dalam hal ini seluruh intansi yang terkait langsung, yakni penyidik Polri serta para penegak hukum yang lainnya. Disisi lain hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang No. 5 tahun 1997 dan Undang-Undang No. 22 tahun 1997. Maka peran penyidik bersama masyarakat sangatlah penting dalam membantu proses penyelesaian terhadap kasus tindak pidana Narkoba yang semakin marak dewasa ini.

Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

PERAN DPR DALAM PENGANGKATAN DUTA BESAR RI SETELAH PERUBAHAN UUD 1945

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Suasana perpolitikan nasional pasca tumbangnya rezim orde baru Suharto, disambut oleh semua kalangan sebagai masa kebebasan dan berekpresi. Keadaan ini semakin bertambah seiring dengan dilakuakannya perubahan terhadap UUD 1945 yang di anggap turut melindungi kekuasaan otoriter tersebut selama 32 tahun dan kerap melahirkan kekuasaan tanpa batas.
Nuansa kehidupan demokratis semakin terasa ketika para elit politik kembali melakukan peran dan fungsi masing-masing. Sentralisasi kekuasaan yang menumpuk pada lembaga eksekutif pada masa lalu, berubah menjadi pemerataan kekuasaan dengan saling kontrol di antara tiap lembaga negara.
Hal ini pula yang memulihkan kembali peran lembaga perwakilan. Lembaga yang merupakan simbol dari keluhuran demokrasi di mana didalamnya terdapat orang-orang pilihan yang dijadikan wakil rakyat yang memiliki integritas, tanggung jawab, etika serta kehormatan, yang kemudian dapat diharapkan menjadi perangkat penyeimbang dan pengontrol terhadap kekuasaan eksekutif sebagi penggerak roda pemerintahan.
Bagi negara yang menganut kedaulatan rakyat keberadaan lembaga perwakilan hadir sebagai suatu keniscayaan. Adalah tidak mungkin membayangkan terwujudnya suatu pemerintah yang menjujung demokrasi tanpa kehadiran institusi tersebut. Karna lewat lembaga inilah kepentingan rakyat tertampung kemudian tertuang dalam berbagai kebijakan umum yang sesuai dengan aspirasi rakyat.
Untuk itu menurut kelaziman teori-teori ketatanegaraan dalam hal mana pada umumnya lembaga ini berfungsi dalam tiga wilayah, yaitu, Pertama, wilayah legislasi atau pembuat aturan Perundang-undangan, Kedua, wilayah penyusunan anggaran. dan Ketiga, wilayah pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
Dalam UUU 1945 setelah perubahan pengaturan terhadap lembaga perwakilan di Indonesia ini dapat kita lihat pada Pasal 1 ayat (2) dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan pada Pasal 20A ayat (1), DPR sendiri memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Selanjutnya dalam melaksanaakan fungsinya. sebagai mana dijelasakan pada Pasal 20A ayat (2), DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Serta setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, hak menyatakan usul dan berpendapat sekaligus hak imunitas. Sedangkan kedudukan DPR sangat kuat, karena presiden tidak dapat membekukan ataupun membubarkan DPR sebagai mana tertera pada Pasal 7C.
Namun demikian keberadaan lembaga perwakilan yang baru tersebut belum dapat berfungsi penuh sebagai mana mestinya, karna masih perlu di tindak lanjuti dengan kesepakatan Undang-Undang yang akan menjadi aturan main terbentuknya lembaga itu. Dan ini diharapkan tuntas setelah pemilu 2004 yang akan datang, di mana akan diadakan pemilihan langsung terhadap DPR dan DPD serta Presiden dengan Wakil Presiden.
Sejalan dengan perubahan struktur Sistem kelembagaan negara dengan di amandemen UUD 1945 serta perubahan dinamika perpolitikan yang terus melangkah maju dengan kemudian menata kearah perpolitikan yang sehat dan demokratis, maka pengamatan terhadap DPR sebagai salah satu lembaga perwakilan berikut sebagai lembaga politik sangatlah penting dan urgen. Kenyataan yang berkembang menunjukan adanya fenomena baru terhadap peran lembaga perwakilan tersebut. Peran DPR seakan di sulap dari yang tak berdaya tatkala berhadapan dengan pemerintah, tiba-tiba berubah menjadi lembaga yang kuat terutama dalam fungsinya mengawasi gerak-gerik keberadaan lembaga eksekutif.
Secara legal formal peran DPR terlebih dalam fungsi pengawasan mengalami Perubahan besar setelah di lakukan amandemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan sejak Sidang Umum MPR 1999. Dengan fungsi pengawasan yang dimiliki legislatif misalnya, menjadikan setiap kebijakan pemeritah yang akan di buat maupun akan dilaksanakan harus terlebih dahulu mendapat persetujuannya. Hak prerogatif yang dimiliki presiden semakin sempit karna di sisi lain DPR menempatkan diri sebagi lembaga penentu kata-putus dalam betuk memberi persetujuan dan beberapa pertimbangan terhadap agenda-agenda pemerintah. Dalam pembuatan undang - undang presiden kini hanya memiliki kekuasaan mengusulkan rancangan Undang-Undang (RUU). Sedangkan kekuasaan untuk menetapkan suatu RUU menjadi Undang-Undang ada di tangan DPR. Dalam hal pengangkatan duta, Peresiden harus terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan DPR, kemudian Presiden menerima penempatan duta dari negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR pula. Selain itu, DPR juga telah memiliki peranan yang lebih besar dalam pengangkatan Direktur Bank Indonesia dan dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung. Wewenang dan kekuasaan yang lebih besar juga diindikasikan oleh frekuensi pemanggilan mentri yang menjadi lebih sering dan melalui pembentukan panitia khusus untuk melakukan investigasi terhadap dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh eksekutif.
Dalam pada itu kekuasaan DPR pada fungsi pengawasan terlihat pula dalam pengangkatan Duta Besar Republik Indonesia (RI). Pasal 13 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan, menyebutkan “Dalam hal pengangkatan duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR”. Menurut ketentuan yang baru tersebut diisyaratkan bahwa dalam pengangkata duta besar (dubes) tidak hanya merupakan hak prerogratif Presiden namun juga melibatkan peran DPR untuk memberikan pertimbangan. Dubes yang akan ditempatkan di suatu negara oleh pemerintah, harus terlebih dahulu melalui dengar pendapat yang dilakukan DPR. Hal ini kemudian menjadikan hubungan antara Presiden dan DPR berkaitan dengan pencalonan dubes mulai dipersoalkan oleh sekian banyak kalangan, ketika keputusan DPR yang mempermasalahkan calon-calon dubes yang diajukan oleh pemerintah.
Pada waktu melakukan uji visi dan misi terhadap 27 calon dubes tanggal 27 Juni 2002 Komisi I DPR yang mengurusi hubungan luar negeri, tidak meloloskan tujuh calon dubes yang diajukan oleh Mentri Luar Negeri (Menlu) . Dibagian lain sebaliknya bahwa dalam pemantauan kompas ada 37 pos perwakilan RI yang kosong, tanpa kepala perwakilan atau duta besar . Permasalahan demikian dapat menggangu hubungan luar negeri Indonesia, di mana pada saat ini bangsa kita sedang meyakinkan pihak luar untuk memberikan pengakuan terhadap acaman disintegrasi, memberikan kepercayaaan untuk menanamkan investasi serta dapat menjalin hubungan (politik, ekonomi, sosial, budaya) terhadap bangsa yang selama ini sedang mengalami krisis multidimensi.
Dalam pemahaman legal formal diasumsikan jika wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga perwakilan lebih besar, maka kemampuannya untuk melakuakan pengawasan otomatis akan menjadi lebih besar pula. Hal demikian apakah tidak mempengaruhi gerak langkah eksekutif sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan rakyat lewat kebijakan-kebijakannya. Menurut Jimly Asshiddiqy, gejala penambahan kewenangan atau penumpukan kekuasaan pada DPR di satu segi baik dan positif, tetapi di pihak lain dapat pula menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Apalagi dikaitkan dengan aura euphoria dalam Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR cenderung meluap-luap seperti tidak dapat dikendalikan dan belum tentu sehat.


Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

Kegiatan usaha dalam bentuk persekongkolan yang tidak sehat bagi para pelaku usaha

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hukum antimonopoli merupakan salah satu regulasi yang mengatur tata cara persaingan usaha di Indonesia. Hukum antimonopoli dimaksudkan agar persaingan usaha di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan wajar yang dijalankan oleh para pelaku usaha serta menciptakan suatu keseimbangan dan persaingan usaha yang kondusif bagi para pelaku usaha. Dalam perkembangannya, hukum antimonopoli sangat berkaitan erat dengan prinsip prinsip dasar ekonomi. Hal tersebut dikarenakan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahannya, dipastikan membawa dampak ekonomi, baik dampak dalam ruang lingkup ekonomi mikro maupun dampak dalam ruang lingkup ekonomi makro. Oleh karena itu regulasi yang telah dibuat, tidak semata - mata melihat dari segi hukumnya saja, melainkan harus juga dilihat dari segi ekonomi demi keberlangsungan kegiatan usaha di Indonesia.
Dengan berkembangnya dunia usaha di Indonesia, maka hal tersebut memacu berbagai masalah masalah baru yang berkenaan dengan praktek kegiatan usaha di lapangan. Sehingga pemerintah harus dapat membuat suatu regulasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan permasalahan yang akan / sedang timbul.
Hukum antimonopoli di Indonesia diatur dalam Undang – Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam perundang – undangan tersebut diatur hal hal apa saja yang boleh dan tidak diperbolehkan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia. Hal tersebut tercermin dalam pasal 3 UU No 5 Tahun 1999 yang berbunyi “ pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berazakan demokrasi Ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum “
Cikal bakal dibentuknya Undang – Undang No 5 Tahun 1999 karena begitu banyaknya pelanggaran – pelanggaran bentuk kegiatan usaha pada masa orde baru yang berakhir pada tahun 1998 . Monopoli dan gerak konglongmerasi yang cepat terjadi kesalahan dalam mendistribusikan PER ( power of Economic Regulation ) sehingga manfaat hanya bergulir pada lingkaran kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan dan pusat pengambil keputusan saja.
Berdasarkan hal hal yang telah penulis paparkan diatas, maka penulis membuat sebuah karya tulis yang berjudul “ Kegiatan usaha dalam bentuk persekongkolan yang tidak sehat bagi para pelaku usaha “.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat menyimpulkan suatu permasalahan :
Bagaimanakah dampak hukum bagi para pelaku usaha yang melakukan kegiatan kegiatan yang dilarang sesuai dengan UU No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang penulis lakukan adalah Untuk menganalis dan menelusuri dampak hukum bagi para pelaku usaha yang melakukan kegiatan yang dilarang sesuai dengan UU No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
1.4 Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat dari penelitian yang penulis lakukan adalah :
1. Dapat memberikan gambaran secara umum tentang kegiatan yang dilarang sesuai dengan UU No 5 Tahun 1999 kepada setiap orang yang membaca karya tulis ini, sehingga dapat memberikan suatu bentuk konstribusi dibidang ilmu pengetahuan.
2. Agar dapat memperjelas pengaturan dan penyelesaian kasus yang dibahas penulis, sehingga dapat meminimalisir kerugian kerugian yang mungkin dapat terjadi pada pihak yang terkait.
1.5 Sistematika penulisan
Untuk memudahkan dalam mengikuti sajian pembahasan materi skripsi ini, penulis akan menguraikan secara singkat bab demi bab yang terkait guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap arah pembahasan seperti dibawah ini :
1. BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengertian monopoli dan persaingan curang,ruang lingkup hukum antimonopoli,prosedur pemeriksaan perkara, tata cara penyedia barang / jasa terhadap perusahaan pemerintah, persekongkolan, dan dampak hukum bagi pengusaha yang melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
3. BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas metode yang dipergunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu dengan menggunakan penelitian hukum normatif secera kualtitatif yaitu mencari kebenaran melalui rumusan hukum yang terdiri dari pendapat para ahli, teori - teori dan ketentuan reguolasi hukum.
4. BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai putusan KPPU ( Komisi Pengawas Persaingan Usaha ) terhadap kasus persekongkolan tender antara PT. GARDATAMA NUSANTARA dengan PT. PAM THAMES JAYA.
5. BAB V Kesimpulan Dan Saran
Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran atas permasalahan yang ada berdasarkan analisis yang telah penulis lakukan.

Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

EKSISTENSI GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu negara hukum (rechstsaat) dibuktikan dari ketentuan dalam Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945. Ide negara hukum, terkait dengan konsep the rule of law dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey. Tiga ciri penting setiap negara hukum atau yang disebutnya dengan istilah the rule of law oleh A.V. Dicey, yaitu: 1) supremacy of law; 2) equality before the law; 3) due process of law.
Dalam Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori equality before the law termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori dan konsep equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan.

Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 sering dikatakan menganut sistem presidensiil, akan tetapi sifatnya tidak murni, karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Namun dengan empat perubahan pertama Undang-undang Dasar 1945, khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan presiden secara langsung, dan dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional terhadap kelembagaan MPR, maka sistem pemerintahannya menjadi makin tegas menjadi sistem pemerintahan presidensiil murni . Dalam sistem presidensiil yang murni, tidak perlu lagi dipersoalkan mengenai pembedaan atau pemisahan antara fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan, karena dalam pemerintahan presidensiil murni cukup memiliki presiden dan wakil presiden saja tanpa mempersoalkan kapan ia berfungsi sebagai kepala negara dan kapan sebagai kepala pemerintahan.

Di negara dengan tingkat keanekaragaman penduduknya yang luas seperti Indonesia, sistem presidensiil ini efektif untuk menjamin sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Namun seringkali, karena kuatnya otoritas yang dimilikinya, timbul persoalan berkenaan dengan dinamika demokrasi . Oleh karena itu, dalam perubahan Undang-undang Dasar 1945, kelemahan sistem presidensiil seperti kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, diusahakan untuk dibatasi. Misalnya, Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA”. Hal ini bertujuan agar hak preogratif presiden dibatasi dan tidak lagi bersifat mutlak.

Wacana pelaksanaan dan penerapan pidana mati berkembang pada enam tahun terakhir. Dengan kata lain soal pidana mati justru populer di masa desakan perubahan sistem peradilan. Pada periode ini beberapa ketentuan hukum baru justru mencantumkan pidana mati sebagai ancaman hukuman maksimal. Misalnya pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, ataupun Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan masih ada peraturan perundang-undangan lainnya.

KUHP Indonesia, dalam pidana pokoknya mencantumkan pidana mati dalam urutan pertama. Pidana mati di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda, yang sampai saat ini masih tetap ada. Sementara praktik pidana mati masih diberlakukan di Indonesia, Belanda telah menghapus praktik pidana mati sejak tahun 1870 kecuali untuk kejahatan militer. Kemudian pada tanggal 17 Febuari 1983, pidana mati dihapuskan untuk semua kejahatan . Tentu saja hal ini merupakan hal yang sangat menarik. Karena pada saat diberlakukan di Indonesia melalui asas konkordansi, di negara asalnya Belanda ancaman pidana mati sudah dihapuskan.
Di dalam penjelasan ketika membentuk KUHP dinyatakan, bahwa alasan-alasan tetap memberlakukan ancaman pidana mati, karena adanya keadaan-keadaan khusus di Indonesia (sebagai jajahan Belanda). Keadaan-keadaan tersebut antara lain: 1) bahaya terganggunya ketertiban hukum yang lebih besar dan lebih mengancam; 2) Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga komunikasi menjadi tidak lancar; 3) penduduk Indonesia heterogen, sehingga menimbulkan potensi bentrokan pada masyarakat; 4) aparat Kepolisian dan pemerintah yang tidak memadai . Namun apabila kita bandingkan dengan keadaan sekarang, maka alasan-alasan tersebut perlu ditinjau kembali. Karena alasan- alasan tersebut sudah tidak cocok dengan keadaan dan perkembangan jaman.

KUHP Indonesia memuat 11 pasal kejahatan yang mengancam pidana mati. Diantaranya Pasal 104 tentang makar, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, Pasal 365 ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan, Pasal 444 tentang kejahatan pelayaran, dan lain-lain. Pidana mati dalam KUHP merupakan pidana pokok atau utama. Perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam Konsep Rancangan KUHP Baru adalah menjadikan pidana mati sebagai pidana eksepsional, dalam bentuk ‘pidana bersyarat’. Artinya, ancaman pidana mati tidak lagi dijadikan sebagai sarana pokok penanggulangan kejahatan, namun merupakan pengecualian. Ancaman pidana mati tetap tercantum dan diancamkan dalam KUHP, namun dalam penerapannya akan dilakukan secara lebih selektif.

Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati. Berdasarkan catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia termasuk salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem hukum pidananya (Retentionist Country). Retentionist maksudnya de jure secara yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati untuk segala kejahatan. Tercatat 71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu negara terbesar di dunia yang termasuk dalam retentionist country ini adalah Amerika Serikat. Dari 50 negara bagian, ada 38 negara bagian yang masih mempertahankan ancaman pidana mati . Padahal seperti diketahui, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam menyerukan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Namun dalam kenyataannya masih tetap memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam hukum militernya.

Angka orang yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri, sejak 1982 hingga 2004, tidak kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu eksekusi, atau masih dalam proses upaya hukum di pengadilan lanjutan . Alasan yang banyak dikemukakan berkaitan dengan resistensi politik agar setiap negara menghormati pemikiran bahwa masalah sistim peradilan pidana merupakan persoalan kedaulatan nasional yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kultural dan agama, dan menolak argumen bahwa pidana mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang masih mempertahankan ancaman pidana mati adalah negara yang didominasi oleh penduduk muslim. Sedangkan Indonesia adalah negara yang notabene merupakan negara yang penduduknya juga didominasi oleh penduduk muslim.

Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang berencana) lazimnya tidak melakukan kekerasan di penjara. Begitu pula setelah ke luar penjara mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama. Sebaliknya sejumlah ahli mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat menjangkau hukum kerumitan kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di mana korban bekerjasama dengan pelaku kejahatan, di mana individu adalah korban maupun pelaku kejahatan, dan dimana orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan .
Mereka yang pro-hukuman mati berpendapat:

(1) hukuman mati merupakan pidana tepat bagi pelaku pembunuhan (berencana) dan percaya pandangan retribution, atonement or vengeance, yang memiliki sifat khusus yang menakutkan;
(2) pidana mati masih tercantum dalam sejumlah perundang-undangan;
(3) hukuman mati lebih ekonomis daripada hukuman seumur hidup.

Mereka yang tidak setuju pidana mati berpendapat:
(1) ancaman pidana mati secara historis tidak bersumber pada pancasila, karena KUHP kita warisan Belanda, bahkan Belanda sendiri termasuk salah satu negara yang telah menghapuskan hukuman mati;
(2) hukuman mati (pada dasarnya pembunuhan berencana juga) merupakan sesuatu yang amat berbahaya bila yang bersangkutan tidak bersalah. Tidaklah mungkin diadakan suatu perbaikan apapun bila orang sudah dipidana mati;
(3) mereka yang menentang hukuman mati menghargai nilai pribadi, martabat kemanusiaan umumnya dan menghargai suatu pendekatan ilmiah untuk memahami motif-motif yang mendasari setiap tingkah laku manusia .

Dari dimensi dan kacamata HAM, dapat dicatat perkembangan instrumen-instrumen sebagai berikut:


Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

ANALISA HUKUM ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini teknologi di bidang industri pengangkutan baik darat, laut maupun udara berkembang dengan pesat. Di Indonesia pun penggunaan hasil-hasil produksi teknologi yang tinggi dibidang alat angkut pesat sekali, meskipun yang menikmati hasil produksi tersebut baru sebhagian golongan masyarakat saaja. Produksi kendaraan bermotor saat ini tidak terbilang jumlahnya disebabkan persaingan harga dan kualitas kendaraan pribadi dan alat angkut penumpang umum, baik yang melalui darat, laut maupun udara, dari tahun ke tahun semakin meningkat jumlahnya yang merupakan dampak lain yang harus dipeerhitungkan dari segi ekonomi.
Karena itu, bermacam-macam perusahaan telah muncul, khususnya prusahan yang berhubungan dengan kegiatan memberikan jaminan atau tangungan kepada seseorang atau kepada suatu aset tertentu, karena standar suatu saat dapat ditimpa oleh suatu kerugian atau peristiwa.
Karena itu kita menyaksikan puluhan bahkan ratusan perusahan asuransi di Indonesia menawarkan jasanya. Mereka menawarkan jasanya agar seseorang anggota masyarakat bersedia menjadi angota atau nasabah suatu perusahaan asuransi.
Pada kenyatannya kinerja perusahaan asuransi di Indonesia pada saat ini dapat dikatakan umumnya belum menggembirakan. Belum menggembirakan, yang mana dari pihak pengelola usaha asuransi belum memberikan pelayanan yang baik, bahkan sering kali melakukan penipuan terhadap konsumen atau muncul kesan dipersulit ketika akan menggugat hak, baik dalam asuransi jiwa maupun dalam asuransi kerugian.
Sedangkan dari pihak masyararat industri asuransi kurang diminati, disamping minimnya pengetahuan masyarakat terhadap asuransi, juga disebabkan masih rendahnya income per kapita masyarakat.
Bagi mereka yang akan bergabung atau menjadi nasabah perusahaan asuransi perlu mengetahui apa kriteria, pedoman layak dipertimbangkan ketika akan memilih suatu asuransi. Dalam hubungan ini, beberapa kriteria atau pedoman tersebut dapat dikemukakan antara lain :
1. Perusahaan asuransi hanya menjual program berdasarkan kemampuan nasabah. Jika kemampuan konsumen tak memenuhi implikasinya pertanggungan putus di tengah jalan.
2. Produk yang dijual sesuai dengan kebutuhan, artinya kebutuhan nasabah lebih diutamakan. Logikanya produk yang dibutuhkan masyarakat akan laris di pasaran, oleh sebab itu masyarakat sudah semakin sadar akan pentingnya suatu program asuransi.
3. Pastikan nasabah yang membeli polis dalam keadaan sehat. Ini penting agar tidak terjadi penipuan. Nasabah mengaku sehat, padahal mengidap penyakit, hal ini tentunya akan merugikan pihak asuransi. Hal ini berkaitan dengan pasal 1338 ayat (3) KUH perdata, yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
4. Ini berkaitan erat dengan komitmen nasabah dala program atau produk yang dipilih. Tak kalah penting lagi, asuransi harus dijual dengan tatap muka dalam hal ini tidak bisa menjual asuransi hanya lewat telepon.
5. Kondisi keuangan perusahaan asuransi sendiri. Saat ini ada sebagian perusahaan asuransi cenderung mengulur-ulur waktu ketiga akan membayar klaim. Oleh sebab itu faktor permodalan lebih menjadi perhatian perusahaan asuransi tersebut.
Gambaran negatif bahwa perusahaan asuransi yang mempersulit nasabah dalam hal klaim, bukan kebiasaan. Namun kadang kala nasabah mempersulit dirinya sendiri, antara lain dengan tidak jujur dalam mengisi formulir aplikasi (SPAJ) yang mana ketidak jujuran tersebut akan merugikan dirinya sendiri.
Kriteria yang di atas sangat penting. Sebab bila salah pilih, nasabah bisa rugi. Untuk itulah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan diterapkan oleh asuransi di Indonesia. Oleh karena itu seorang agen dalam kegiatannya, dalam menyampaikan program program asuransi yang ada di Indonesia harus. memberikan keterangan yang jelas dan benar mengenai perusahaan, produk produk perusahaan asuransi maupun proposal kepada setiap calon pemegang polis, yang mana, hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan. Di dalam surat permintaan asuransi jiwa (SPAJ) telah dibutuhkan bahwa setiap keterangan yang diberikan oleh calon pemegang polis dan atau calon Tertanggung, oleh agen tidak boleh menyembunyikan informasi apapun kepada calon pemegang polis dan tidak memberikan keterangan yang bertentangan dengan ketentuan umum dan ketentuan khusus polis PT Asuransi di Indonesia.
Konsekuensi nasabah membeli polis harus dengan cara tanggung jawab. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa dalam perlindungan nasabah peraturan, perundang undangan yang berlaku dan berkaitan dengan desakan perasuransian terutama KUH Perdata dan KUHD sebagai acuan dalam hukum asuransi yang kemudian diberlakukan beberapa ketentuan ketentuan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan Peraturan peraturan lainnya juga menyangkut polis.
Akan halnya kepada siapa seorang nasabah bisa berharap mendapat jaminan ketenangan, tentunya pertama kepada Tuhan Yang Maha Esa, kedua kepada asuransi. Dengan cara berasuransi maka orang yang menghadapi resiko atas jiwanya bermaksud untuk mengalihkan resikonya itu atau setidak tidaknya membagi resikonya itu kepada pihak lain yang bersedia menerima peralihan atau pembagian resiko tersebut. Peralihan resiko itu tidak terjadi dengan begitu saja, tanpa kewajiban apa apa pada pihak yang memperalihkan. Hal itu harus diperjanjikan terlebih dahulu.
Contoh kasus, Bapak HD, mengaku, sakit hati. Kalim yang dia ajukan benar benar dipersulit pihak asuransi, dan baru diluluskan setelah menunggu setahun. Pengusaha yang berdomisili di Jakarta ini menilai, Asuransi X melakukan wanprestasi alias ingkar janji. Pasalnya, asuransi pendidikan yang hendak ditutup tidak tunduk kepada kurs nilai rupiah yang berlaku, melainkan dipaksakan dengan kurs nilai tukar rupiah yang telah dipatok pihak asuransi.
Padahal, menurut pejanjian mengikuti kurs nilai tukar rupiah yang berlaku, kasus kurang nyaman Bapak HD ini makin memperkuat anggapan bahwa konsumen selalu berada di pihak yang lemah. Apalagi hingga kini tidak ada aturan yang secara khusus mengatur akibat akibat hukum yang timbul antara perusahaan asuransi dengan konsumen. Namun demikian hal ini dapat dikaitkan dengan Pasal 27 ayat (4) PP No. 73 tahun 1992 yang menyebutkan bahwa agen harus memberikan informasi yang benar.
Kisah kelabu tadi memperpanjang kasusnya bermuara kepada betapa perlakuan perusahaan asuransi masih ada yang tak berubah dari pola pola lama. Kewajiban membayar premi yang sudah ditunaikan dengan baik dan lancar seringkali tidak diikuti dengan kemudahan ketika klaim diajukan. Prosedurya malah rumit, berbelit belit dan lama. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan ketika para konsumen dibujuk rayu untuk bergabung menjadi nasabah. Nasabah mesti pontang panting terlebih dahulu, setelah itu jika beruntung haknya baru dipenuhi oleh perusahaan asuransi.
Namun dari sekian banyak ketentuan ketentuan tersebut, satu hal yang terpenting yaitu perlindungan nasabah yang langsung dapat dijadikan jaminan oleh semua asuransi yang ada di Indonesia, yakni berupa polis. Adapun syarat syarat umum polis harus memperhatikan tiga kepentingan, yakni :
1. Kepentingan nasabah: Kepentingan nasabah di sini agar bisa memberikan sesuatu hal yang jelas untuk kepentingan nasabah atau tertanggung. Nasabah bisa dilindungi, mereka mendapatkan syarat syarat yang sama di perusahaan asuransi.
2. Kepentingan instansi pembina atau pengawas: Yang dimaksud kepentingan instansi pembina, atau pengawas yakni kepentingan pemerintah melalui direktorat asuransi, apa yang tercantum dalam undang undang, peraturan peraturan pemerintah harus menjadi referensi dan syarat syarat umum polis tersebut.
3. Kepentingan industri asuransi: Yang dimaksud dengan kepentingan industri asuransi adalah industri asuransi harus terlindungi dari usaha atau itikad buruk pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan diri dari asuransi.
Seperti yang tersebut dalam Pasal 25 KUHD, bahwa suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis di dalam suatu akta yang dinamakan polis. Di dalam polis itu sendiri tidak boleh merugikan kepentingan pemegang polis (nasabah) seperti disebutkan dalam Pasal 11 (bab 1) undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. yang menimbulkan penafsiran berbeda mengenai hak dan kewajiban penanggung maupun tertanggung, yang tertera dalam Pasal 19 ayat (1) undang-undang No. 2 tahun 1992.
Adapun dalam Pasal 5 (bab 11) Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.O 17/1993, bahwa di dalam polis asuransi dilarang mencantumkan pembatasan upaya hukum begitu pula yang terdapat pada Pasal 6 Kep. Menkeu. No. 225/KMIK.017/1993, yang menyatakan bahwa dalam polis dilarang mencantumkan pembatasan upaya hukum, disamping itu tindakan yang dapat dianggap memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim secara wajar antara lain :

Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

ANALISIS PERSEPSI BRAND ASSOCIATION MENURUT PELANGGAN SABUN MANDI CAIR LUX PADA PT UNILEVER INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN




1.1 Latar Belakang Masalah
Peranan merek bukan lagi sekedar sebagai nama ataupun sebagai pembeda dengan produk-produk pesaing, tetapi sudah menjadi faktor penentu untuk dapat menjadi “trend setter” di bidang industri. Banyak perusahaan yang berhasil karena memiliki reputasi merek, sehingga dapat membuka distribusi di kota-kota lain bahkan negara-negara lain dengan menarik pelanggan sasaran melalui kekuatan-kekuatan merek yang mereka miliki.
Sebuah merek yang telah mencapai ekuitas tinggi merupakan asset yang berharga bagi perusahaan. Untuk itu, mempertahankan dan meningkatkan ekuitas merek bukan pekerjaan mudah, karena yang dihadapi adalah ekspektasi pelanggan. Konsumen akan merasa “familiar” dengan nama merek yang pertama masuk ke pasar, sekalipun merek-merek yang masuk belakangan berkinerja lebih baik. Ini akan mengarah kepada terciptanya kesetiaan yang lebih besar pada merek pertama dan produsen. Kesetiaan pelangaan menjadi kunci sukse tidak hanya dalam jangka pendek tetapi keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Contohnya seperti sabun kecantikan merek Lux, yang merupakan sabun kecantikan pertama yang masuk ke pasaran di Indonesia. Sabun kecantikan merek Lux memperluas jenis produk sabun mandinya, yang tidak hanya sabun mandi yang berupa batangan padat tetapi juga berupa sabun mandi cair.
Merek perlu dipersepsikan sebagai produk yang berkualitas tinggi, sehingga konsumen dapat memahami sebuah produk hanya melalui eksistensi, fungsi, citra dan mutu. Kualitas di mata konsumen lebih bersifat subyektiif, tergantung bagaimana persepsi konsumen terhadap produk itu.
Ketika kemudian jumlah merek yang dikenal konsumen semakin banyak, maka peranan merek dapat diperluas sehingga mampu memberikan asosiasi tertentu dibenek konsumen. Seuah merek akan sering dihubungkan dengan fungsi dan citra khusus. Nilai yang didasari merek sering kali didasari pada asosiasi-asosiasi spesifik yang berkaitan dengannya. Asosiasi merek (brand association) diupayakan dengan slogan, atau posisi yang diinginkan, atau dengan strategi brand identity, yaitu menciptakan atribut yang penting sebagai bahan yang dipersepsikan konsumen. Asosiasi-asosiasi merek seperti Ronald McDonald bisa menciptakan sikap atau perasaan positif yang berkaitan dengan suatu merek.


Jadi menurut Darmadi, dkk (2001:4) brand association adalah:
Mencerminkan pencitraan suatu merek terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk, geografis, harga, pesaing, dan lain-lain.

Pengertian asosiasi merek yang dikemukakan oleh Aaker (1996:106) dalam buku The Power of Brand, Freddy Rangkuti (2002:43) adalah “segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai merek”.

Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

“PENGARUH KOMPENSASI FINANSIAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN PUSKESMAS NARMADA KABUPATEN LOMBOK BARAT”

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.
Seiring dengan terjadinya perubahan-perubahan yang begitu cepat dalam aspek kehidupan masyarakat, maka setiap organisasi pemerintah daerah diharapkan mampu merespon secara cepat tututan dan harapan masyarakat yang semakin kopleks, untuk pelayanan publik.
Adanya tuntutan dan harapan masyarakat yang semakin kompleks tersebut, maka seluruh jajaran aparatur pemerintah harus memiliki komitmen dan loyalitas yang sama dan kuat untuk memenuhi seluruh aspek pelayanan publik dengan merubah sikap dan perilaku, serta penataan system pelayanan yang efektif dan efesien, sehingga aparatur pemerintah secara optimal dapat memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Secara teoritis dan empiris, keberhasilan organisasi pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya merupakan kontribusi langsung dari prilaku pegawainya, oleh karena itu pegawai yang bekerja pada pemerintah harus dikembangkan sebaiknya, melalui peningkatan kompetensinya, sehingga setiap aparatur pemerintah profesional dalam menjalankan tugasnya.
Untuk meningkatkan profesionalisme minimal ada tiga nilai yang harus dikembangkan, yaitu : 1)
Pertama, tugas dan peranan aparatur harus senantiasa bertujuan melayani kepentingan umum.
Kedua, profesionalisme aparatur harus didasarkan pada pendidikan dan spesialisasi professional bukan bersifat patrimonial.
Ketiga, memegang teguh prinsip the right man on the right place.
Pengelolaan SDM secara profesional sangat penting, agar didalam organisasi terwujud keseimbangan antara kebutuhan pegawai dengan tuntutan dan kemampuan organisasi, wujud keseimbangan merupakan kunci utama organisasi untuk dapat berkembang secara produktif. Melalui pengelolaan manajemen SDM secara profesional tersebut, tentunya di harapkan pegawai yang ada dalam organisasi dapat bekerja secara produktif.
Mengigat besarnya peranan SDM sebagai pengerak organisasi dalam mencapai tujuannya, maka upaya-upaya organisasi dalam mendorong pegawainya untuk bekerja lebih baik harus terus dilakukan, dengan adanya pegawai-pegawai yang bekerja secara baik ini, maka di harapkan hasil kerja (kinerja karyawan) yang di capai oleh pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.
Dapat dilihat dengan jelas fungsi personalia merupakan salah satu fungsi yang penting karena manusia merupakan faktor penggerak, yaitu faktor produksi yang dilakukan dan teknologi yang dipergunakan, unsur sumber daya manusia sangat dibutuhkan. Jadi masalah sumber daya manusia merupakan masalah yang penting yang harus selalu diperhatikan dalam menjaga kelancaran jalannya proses produksi suatu perusahaan.
Ada beberapa cara dan pendekatan untuk mewujudkan hubungan kerja yang baik. Salah satunya adalah dengan memberi motivasi pada pegawai, pemberian motivasi menyangkut berbagai bentuk, diantaranya dengan cara memberi motivasi langsung tertuju pada masing-masing individu. Cara lain yang lazim dilaksanakan memberikan kebijaksanaan kompensasi finansial yang wajar, yang bisa mencukupi semua kebutuhan hidupnya.
Kompensasi finansial pada dasarnya merupakan sumber utama penghasilan seseorang, sebab itu kompensasi finansial harus cukup untuk memenuhi kebutuhan pegawai dan keluarganya dengan wajar. Kewajaran dapat dinilai dan diukur dengan kebutuhan hidup minimum atau sering disebut dengan kebutuhan fisik minimum. Adapun tanggung jawab semua masyarakat, pemerintah, pengusaha, dan pegawai itu sendiri untuk menjamin bahwa kebutuhan hidup minimum setiap pegawai dapat dipenuhi melalui pekerjaan dimana dia memperoleh penghasilan.
Kebijaksanaan yang adil dan layak dapat dilakukan misalnya dengan memberikan jumlah kompensasi finansial yang cukup sehingga pegawai dapat bekerja lebih baik. Kebijaksanaan pengkompensasi finansial dalam upaya meningkatkan kinerja karyawan berpengaruh terhadap kedua belah pihak, baik pegawai maupun pemerintah. Oleh karena itu kebijaksanaan tersebut diharapkan dapat memuaskan kedua belah pihak, yaitu peningkatan kompensasi finansial diharapkan akan meningkatkan kinerja karyawan. Jaminan penghasilan yang lebih baik sangat penting bukan saja bagi kemanusiaan akan tetapi juga untuk meningkatkan kinerja.
Puskesmas Narmada sebagai salah satu institusi pemerintah yang berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan pada masyarakat, dituntut untuk terus meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat. Semakin besarnya tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan Puskesmas Narmada, mendorong pihak manajemen, secara terus menerus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat.
Puskesmas Narmada, selama ini telah berupaya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan baik dan professional, hal ini sesuai dengan Visi dan Misi yaitu :

VISI :
“Tercapainya Kecamatan Narmada Sehat Menuju Terwujudnya Lombok Barat Sehat.”

MISI :
1.Mengerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di Wilayah Kecamatan Narmada.
2.Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di Kecamatan Narmada.
3.Meningkatkan dan memelihara mutu, pemerataan dan keterjangkauan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas dan jajaran di bawahnya.
4.Meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya di Wilayah Kecamatan Narmada melalui upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat.

Puskesmas Narmada mempunyai beberapa unit Puskesmas Pembantu untuk melayani seluruh masyarakat Narmada sampai pelosok desa. Dengan adanya program Pemerintah Jaringan Pengaman Sosial membantu masyarakat yang tidak mampu sehingga dapat perawatan kesehatan.
Penelitian ini memusatkan perhatian hanya pada faktor kompensasi finansial terhadap kinerja karyawan di Puskesmas Narmada Lombok Barat.


1.2. Perumusan Pokok Masalah.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.

1.4. Hipotesa.

1.5. Metode Penelitian

1.5.5.2. Analisa Statistik yang terdiri dari :
1. Analisa Regresi.
Analisa regresi digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh kompensasi finansial terhadap kinerja karyawan di Puskesmas Narmada.
Adapun formulanya adalah sebagai berikut : 2)
Y = a + bX


Untuk mencari nilai a dan b digunakan formula :
n.XY - X. Y
b =
n. X2 – (X)2

a = (Y - bX) / n

Dimana :

Y = Kinerja Karyawan (Variabel terikat).
X = Kompensasi Finansial (Variabel Bebas).
b = Koefisien parameter.
a = Rata-rata indek.
n = Banyaknya data

2. Analisa Korelasi.
Analisa korelasi digunakan untuk mengetahui kuat atau tidaknya korelasi/hubungan antara kompensasi finansial terhadap kinerja karyawan di Puskesmas Narmada.
Adapun formulanya adalah sebagai berikut :


Hasil korelasi -1 < r < +1

• Apabila r mendekati –1, ini berarti bahwa hubungan antara kompensasi finansial terhadap kinerja karyawan di Puskesmas Narmada negatif dan kuat.
• Apabila r mendekati 0, ini berarti bahwa hubungan antara kompensasi finansial terhadap kinerja karyawan di Puskesmas Narmada lemah.
• Apabila r mendekati +1, ini berarti bahwa hubungan antara kompensasi finansial terhadap kinerja karyawan di Puskesmas Narmada positif dan kuat.

Pedoman Interpretasi Terhadap Koefisien Korelasi sebagai berikut: )
Besar Koefisien Korelasi (r) Interpretasi
0,00 – 0,20





0,20 – 0,40


0,40 – 0,70


0,70 – 0,90


0,90 – 1,00 Antara variabel X dan Y terdapat korelasi, yang sangat lemah atau sangat rendah sehingga korelasi itu diabaikan (dianggap tidak ada korelasi antara variabel X dan Y

Antara variabel X dan Y terdapat korealsi yang lemah atau rendah

Antara variabel X dan Y terdapat korelasi yang sedang atau cukup

Antara variabel X dan Y terdapat korelasi yang kuat atau tinggi

Antara variabel X dan Y terdapat korelasi yang sangat kuat atau sangat tinggi





3. Analisa Uji Hipotesa.

Analisa uji hipotesa digunakan untuk menguji pengaruh kompensasi finansial terhadap kinerja karyawan di Puskesmas Narmada.
digunakan uji-T sebagai berikut : )
r  n – 2
t =
 1 – r2

Langkah-langkah pengujian :

Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA KEUANGAN PT. BERDIKARI UNITED LIVESTOCK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang dituntut untuk senantiasa meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakatnya melalui pembinaan pilar ekonomi yang dianggap mampu menopang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Selain Koperasi, Swasta, maka salah satu pilar ekonomi yang dianggap mampu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa setelah bangsa ini dilanda krisis moneter pada akhir tahun 1997 menyebabkan perekonomian masyarakat Indonesia mengalami keterpurukan. Berbagai bidang usaha yang dengan susah payah dibangun oleh pemetintah selama bertahun-tahun satu persatu mengalami kebangkrutan dan bahkan tidak cukup hanya sampai disitu para karyawan pun menuai dampak lebih parah dengan PHK secara besar-besaran. Dalam kondisi yang semakin terpuruk tersebut, pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melakukan pembenahan, meski belum menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, akan tetapi Badan Usaha Milik Negara merupakan salah satu pelaku ekonomi yang diangap mampu dan dapat diandalkan untuk menjadi lokomitif ekonomi Indonesia dalam kompetisi ekonomi Nasional maupun Internasional. Dalam upaya perbaikan ekonomi pasca krisis tersebut, pemerintah pun melakukan kegiatan restrukturisasi yang dilakukan dengan memasukkan - swasta beserta seluruh jaminan kreditnya menjadi milik pemerintah, sehingga dengan demikian 80% aset produktif bangsa Indonesia berada dalam manajemen BUMN (Tanri Abeng, 2000).
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pelaku ekonomi terbesar di Indonesia diharapkan untuk mampu terus tumbuh dan berkembang agar mampu melakukan kompetisi di era yang semakin terbuka. Menurut Sofyan Jalil (1999) total asset BUMN sampai akhir 1997 mencapai Rp. 461 triliyun. Dengan aset yang begitu besar dan bergerak pada dua jenis BUMN yakni BUMN Infra struktur dan Non Infrastruktur hampir semua bidang ekonomi seperti : Industri dan perdagangan, Kawasan Industri dan Jasa Konstruksi, dan Konsultasi, Perhubungan telekomunikasi dan Pariwisata, pertanian dan perkebunan, pelayanan umum, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian kinerja BUMN dianggap sangat berpengaruh terhadap kinerja perekonomian Indonesia pada umumnya.
Pada Akhir tahun 1997 bila ditinjau secara parsial, maka kinerja beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menunjukkan kondisi yang menggembirakan, akan tetapi secara umum kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Hal ini ditunjukkan dengan total asset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akhir tahun 1997 senilai empat ratus enam puluh satu ( Rp. 461 trilliun ), ROA sebesar 2,25% dari total aset, ROI sebesar 3,55% dari total aset yang tergolong produktif Rp. 333,9 triliyun, serta ROE sebesar 9,56% dari total equity sebesar Rp. 123,4 triliyun (Tanri Abeng 2000). Return tersebut menunjukkan nilai yang jauh dibawah opportunity cost of capital.
Fenomena tersebut di atas mendorong pemerintah melakukan reformasi terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara besar-besaran, dengan perubahan dari dominasi peran pemerintah ke peran pasar. Meskipun demikian, dalam prakteknya birokrasi pemerintah enggan melepas kontrol. Meskipun demikian PT. Berdikari United Livestock sebagai salah satu anak perusahaan PT. Berdikari diharapkan untuk dapat memberi kontribusi terhadap keuangan negara melalui peningkatan kinerja yang dimiliki dari berbagai aspek, baik aspek keuangan, operasional, mapun administrasi.
Salah satu penelitian yang berhubungan dengan Kinerja PT. Berdikari United Livestock sebelumnya telah dilakukan oleh Syamsul Bachri Razak (2002) sebagai berikut :
“Evaluasi Kinerja PT. Berdikari United Livestock Parepare (Penerapan SK Menkeu RI No. 198/KMK.016/1998)”
Berdasarkan HipoSkripsi yang telah disusun dan diuji maka disimpulkan sbb:
1) Sesuai SK Menteri Keuangan RI No.198/KMK.016/1998, kinerja PT. Berdikari United Livestock (Persero) sebesar 76,75 atau berada pada tingkat kesehatan “Sehat” dengan predikat “A”. Pencapaian tingkat kesehatan ini berasal dari aspek keuangan, Operasional dan Administrasi masing-masing 52,75,15,0 dan 9,0 dari sumbangsih optimal setiap aspek tersebut masing-masing 70,15 dan 15.
2) Bobot penilaian kinerja PT. Berdikari United Livestock, atas aspek keuangan sebesar 52,75 dari total bobot sebesar 70. ini berarti bahwa kinerja aspek keuangan hanya mampu mencapai 75,36% dari nilai total. Rendahnya nilai kinerja ini disebabkan karena ada 4 elemen penilaian yang berada dibawah nilai optimal yaitu ROI dengan bobot 7,5% (50%), perputaran persediaan dengan bobot 0 (0%), perputaran total aset dengan bobot 3 (60%) dan rasio modal sendiri dengan bobot 7,25 (73%). Sedangkan 4 elemen penilaian lain mampu mencapai nilai optimal 100% yaitu ROE, Rasio Lancar, Rasio Kas dan Perputaran Piutang..

Penelitian yang dilakukan oleh Syamsul Bachri Razak tersebut di atas berdasarkan pada data perusahaan tahun 1999-2000 dengan penilaian kinerja berdasarkan SK Menkeu RI No. 198/KMK.016/1998, dengan tujuan untuk mengetahui Tingkat Kesehatan dan Predikat yang diperoleh PT. Berdikari United Livestock tahun 1999-2000. Berdasarkan pada penelitian tersebut maka penulis akan melakukan pengembangan penelitian dengan menggunakan PT. Berdikari United Livestock sebagai Subjek Penelitian dengan melakukan penilaian kinerja keuangan berdasarkan SK Mentri BUMN No.100/MBU/2002 dan selanjutnya melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan PT. Berdikari United Livestock
Berikut ini perkembangan kinerja keuangan PT. Berdikari United Livestock selama tahun 2000-2004 sebagai berikut:



B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian-uraian dalam latar belakang di atas, maka masalah pokok yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah Faktor-faktor Jumlah aktiva, hutang jangka panjang, dan Equity secara bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja keuangan-Rentabilitas PT. Berdikari United Livestock ?.
2. Apakah Faktor-faktor Jumlah aktiva, hutang jangka panjang, dan Equity secara parsial berpengaruh terhadap kinerja keuangan-Rentabilitas PT. Berdikari United Livestock ?.


C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui/mengkaji :
1. Faktor-faktor Jumlah aktiva, hutang jangka panjang, dan Equity secara bersama-sama berpengaruh terhadap kinerja keuangan-Rentabilitas PT. Berdikari United Livestock.
2. Faktor-faktor Jumlah aktiva, hutang jangka panjang, dan Equity secara parsial berpengaruh terhadap kinerja keuangan-Rentabilitas PT. Berdikari United Livestock.


Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan

“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Kredit Investasi Pada Bank Umum di Kabupaten Sleman (kurun waktu 1989 – 2004)”

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan program pembangunan nasional selama ini tetap bertumpu pada Trilogi pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Untuk itu Bank Indonesia sebagai otoritas moneter berperan aktif dalam mendukung terciptanya iklim berusaha yang kondusif terhadap peningkatan investasi, melalui pengendalian laju inflasi, nilai tukar rupiah yang realistis, kondisi neraca pembayaran yang mantap serta berupaya mempengaruhi perkembangan suku bunga dalam batas-batas yang wajar agar mendorong kegiatan investasi yang efisien.
Dalam suatu pembangunan sudah pasti diharapkan terjadinya pertumbuhan. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sarana dan prasarana, terutama dukungan dana yang memadai. Disinilah perbankan mempunyai peran yang cukup penting karena sesuai dengan fungsinya perbankan Indonesia adalah penghimpun dan penyalur dana dalam masyarakat sedangkan tujuannya adalah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Dalam sistem perekonomian sekarang ini, perbankan memang bukan merupakan satu-satunya sumber permodalan utama bagi investasi nasional. Tetapi bagi Indonesia, perbankan merupakan sumber permodalan utama dan peranan itu masih relatif besar dan diandalkan dibandingkan dengan pasar modal dan sumber-sumber permodalan lainnya. Bagi bank umum, kredit merupakan sumber utama penghasilan, sekaligus sumber resiko operasi bisnis terbesar. Sebagian dana operasional bank diputarkan dalam kredit, maka kredit akan mempunyai suatu kedudukan yang istimewa. Dan dapat dianggap “Kredit” sebagai salah satu sumber dana yang penting dari setiap jenis kegiatan usaha dan dapat diibaratkan sebagai darah bagi makhluk hidup. ( Siswanto Sutojo, 1995, 15 )
Pada dasarnya kredit hanya satu macam saja bila dilihat dari pengertian yang terkandung didalamnya. Akan tetapi untuk memperbedakannya kredit menurut faktor-faktor dan unsur-unsur yang ada dalam pengertian kredit, maka diadakanlah pembedaan-pembedaan kredit yang dapat kita bagi berdasarkan: jenis penggunaan, keperluan kredit, jangka waktu kredit, cara pemakaian, dan jaminan. Dalam hal ini kredit investasi yang sebagai bahasan, kredit ini termasuk kredit berdasarkan jenis penggunaan. Selain kredit investasi yang termasuk kredit menurut jenis penggunaan adalah kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Kredit investasi diberikan oleh bank dengan tujuan membantu para investor untuk mendanai pembangunan proyek baru atau perluasan proyek yang sudah ada. Sedangkan kredit modal kerja diberikan oleh bank kepada debiturnya untuk memenuhi kebutuhan modal kerjanya. Sementara itu kredit konsumsi dipergunakan untuk membiayai operasi bisnis, debitur perorangan menarik kredit untuk membiyai kebutuhan barang dan jasa konsumtif. Berdasarkan penjelasan di atas, kredit investasi merupakan sebagian dari seluruh sumber dana pembangunan dan pengoperasian proyek, dengan kata lain kredit investasi adalah salah satu jenis kredit yang memegang peranan penting dalam perekonomian kita. Itulah salah satu alasan kenapa kredit investasi patut dijadikan proyek penelitian.

TABEL 1.1
Perkembangan Kredit Investasi Pada Bank Umum
Propinsi DIY Tahun 1990-2004
(juta rupiah)


Pada tabel 1.1 dapat dilihat bahwa perkembangan kredit investasi pada bank umum di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun 1990 sampai tahun 2004 terus mengalami peningkatan namun sempat mengalami penurunan pada tahun 1995, 1999 dan 2000. Perkembangan kredit investasi tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 221.051 juta rupiah, sebelumnya juga terjadi kenaikan yang cukup tinggi pada tahun 1997, yaitu sebesar 133.010 juta rupiah. Penurunan perkembangan kredit investasi pada bank umum di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang paling besar terjadi pada tahun 1999 yang mencapai sebesar 272.811 juta rupiah, akibat dari krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia.
Perkembangan terhadap kredit investasi pada bank umum di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan perkembangan kredit investasi dari 5 kabupaten yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kodya Yogyakarta. Sumbangan terbesar terhadap kredit investasi pada bank umum di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta disumbangkan oleh Kodya Yogyakarta yang kemudian diikuti oleh Kabupaten Sleman.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas, maka dapatlah dirumuskan permasalahan yaitu :
1. Apakah PDRB berpengaruh terhadap permintaan kredit investasi bank umum di Kabupaten Sleman.
2. Apakah suku bunga kredit investasi berpengaruh terhadap permintaan kredit investasi bank umum di Kabupaten Sleman.
3. Apakah laju inflasi berpengaruh terhadap permintaan kredit investasi bank umum di Kabupaten Sleman.


1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variabel PDRB, suku bunga kredit investasi, dan laju inflasi terhadap permintaan kredit investasi bank umum di Kabupaten Sleman.


Untuk full paper, anda bisa memesannya dengan mengirimkan email ke kami. Cara Pemesanan